Menulis adalah media untuk mentransformasi energi - pengetahuan kedalam bentuk tulisan

KISAH PENGAMEN DAN GITAR TUA


KISAH PENGAMEN DAN GITAR TUA

            Baru kali ini aku merasakan pahit getirnya menjadi seorang pengamen. Mula-mula aku penasaran dan pengen mencoba gimana sih rasanya menjadi seorang pengamen? soalnya kebanyakan yang aku lihat para pengamen jalanan baik di terminal, lampu merah atau di rumah - rumah, sangat menikmati sekali, mereka menyanyi sembari memainkan gitar tua. Seakan mereka menikmati lantunan lagu yang mereka mainkan, melewati hari dengan penuh keceriaan, menepis segala kebimbangan yang melekat di hati dan pikiran. Sejenak terlepas dari semua permasalahan hidupnya. Setelah selesai menyanyi, mereka mendapatkan upah. Ada yang memberi lima ratus perak, kadang juga seribuan bahkan lebih, jika lagu yang mereka lantunkan enak didengar. Terkadang yang mereka dapatkan  bukanlah uang melainkan caci maki, ocehan yang membuat telinga panas dan gatal, namun itu sudah menjadi konsekuensi seorang pengamen. Jadi selama ini yang terlintas dibenakku adalah kalau aku ngamen aku bisa dapat uang, hitung – hitung  melatih vokal dan mental bernyanyi... asyikkan !
            Senin pagi aku bersama kedua temanku sudah mempersiapkan peralatan mulai dari gitar sampai ecek-ecek (sejenis alat untuk mengamen). Sesampainya di stasiun kami bertiga berniat numpang naik kereta api untuk menuju TKP. Alhasil, kami bertiga malah diusir oleh kondektur kereta api lantaran dituduh mau ngamen didalam kereta. Terpaksa kami bertiga turun meski sempat terjadi perdebatan. “Wah! betapa malunya, kesan pertama yang begitu menggoda, gimana selanjutnya… ha..ha…ha…”gumamku dalam hati.
            Tapi hal itu tak menyusutkan niatku untuk melanjutkan misi konser jalalan, lagian teman aku juga sangat membutuhkan uang karena satu minggu yang lalu ia terkena PHK dan tinggal bersama saudaranya, itung-itung menolong teman, pikirku.
            Dengan terpaksa kami naik angkutan umum jurusan Parijatah (kecamatan Srono kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur). Disitulah daerah tujuan kami bertiga. Sesampainya disana kami mulai memainkan gitar tua diiringi ecek-ecek. Rute jauh pun kami lalui, kurang lebih 5 km berjalan kaki dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu yang lain dengan berbagai perlakuan berbeda dari masing – masing tuan rumah. Ada yang menganggap kami adalah pengangguran yang cuma hanya bisa ngamen kesana – kesini, ada juga yang beranggapan masih muda kug ngamen, mending ngalamar kerja biar dapat pekerjaan yang layak. Sebagian lainnya cuek, acuh ya namanya juga pengamen mau gimana lagi… sedikit kali dari mereka yang mau menikmati lantunan lagu kami sampai selesai karena tidak semua dari mereka menerima kehadiran kami dengan baik.
Disitulah aku baru menyadari bahwasanya jika seseorang memegang sebuah gitar sembari berjalan berkeliling, tiada lain dia adalah seorang pengamen, entah itu pengamen asli (emang sudah menjadi pekerjaan) ataupun seorang yang terpaksa mengamen lantaran mencari uang untuk sesuap nasi, untuk biaya hidup atau seorang anak kost yang kehabisan bekal hingga harus mengamen dijalanan, atau mungkin juga anak sekolah yang terpaksa mengamen demi membayar uang SPP dengan harapan sedikit bisa meringankan beban orang tuanya, karena orang tuanya tidak mampu lagi. Kebanyakan orang memandang sekali pengamen tetaplah pengamen yang kesehariannya kerjanya cuma gitar sana gitar sini. Padahal konotasi pengamen bukan sesuatu hal yang negatif, itu hanya sebuah jalan atau proses yang mereka lalui untuk bisa bertahan, malahan tidak sedikit juga seorang penyanyi professional lahir dari pengamen jalanan yang kesehariannya lalu lalang berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya untuk menghibur para pendengarnya.

Pena Panuluh_17/04/2020_#01

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KISAH PENGAMEN DAN GITAR TUA"

Posting Komentar